MIMPI ITU BERNAMA "PROMAJAM"
Pendahuluan
Berbicara pendidikan adalah
berbicara tentang sebuah investasi.
Berbicara investasi tentu berbicara tentang sebuah keuntungan. Ketika berbicara
keuntungan maka akan tergambar waktu
dimana keuntungan tersebut akan diraih, caranya, obyeknya serta jaminannya. Waktu disini tentu identik dengan kata tanya
“kapan”. Artinya kapan si investor akan menikmati keuntungannya, jangka pendek
atau panjang, bisa juga kalimat lain
yaitu berapa lama. Yang dimaksud cara adalah bagaimana proses pelaksanaanya,
logis atau tidak, memungkinkah atau tidak. Kemudian obyek investasi sendiri
tentu berbicara tentang apa yang akan diinvestasi, berwujud barang, uang atau
orang. Dan terakhir untuk memastikan investasi tidak jatuh ke dalam sebuah
kerugian maka disanalah pentingnya sebuah jaminan. Apa jaminannya dan bagaimana wujud perjanjiannya
adalah kalimat tanya yang bisa digunakan.
Realita
Kalau boleh sedikit menyimpulkan,
pendidikan yang ada selama ini masih belum menggambarkan hal-hal di atas. Pembicaraan
bahwa pendidikan adalah sebuah investasi memang benar sering terdengar. Namun
apa keuntungan atau hasil dari sebuah proses pendidikan masih belum jelas, apakah
siswa yang berkompetensi atau cukup
mendapatkan ijazahnya saja? Padahal siapapun tahu hasilnya harus siswa lulusan
yang berkompetensi yang terekam dalam sertifikat atau ijazahnya.
Tentang cara atau proses
pelaksanaan pun masih samar-samar karena terkesan semuanya “bingung”, harus
melaksanakannya darimana, bagaimana
melaksanakannya, bagaimana mengontrolnya
serta cara mengevaluasi dan apa yang dievaluasi.
Hal lainnya yaitu tentang obyek,
dimana obyek investasi sebuah pendidikan adalah manusia dan uang. Manusia di
sini tentulah maksudnya siswa/peserta didik dan uang di sini maksudnya adalah biaya
pendidikan dari awal sampai selesainya pendidikan atau dinyatakan lulus. Apakah
ada standar kompetensi siswa yang diterima perjenjang pendidikan dan berapakah
standar biaya pendidikan sebagai sebuah investasi yang menguntungkan? Standar siswa
dilihat dari umur, test masuk atau rangking di sekolah/madrasah asal, terujikah
keberhasilannya selama ini? Kenapa bukan berorientasi kompetensi, bukankah
kompetensi titik tekannya?
Sedangkan standar biaya sering dilihat dari
gratis, Rp. 50.000,-, Rp. 100.000,- atau lebih, bagaimana menghitungnya bahwa
itu adalah biaya yang tepat untuk sebuah investasi pendidikan yang menguntungkan?
Bukankah hal ini semua menuntun pada
sebuah jawaban samar-samar. Dan
samar-samar kembali melengkapi jawaban
kita ketika investasi pendidikan ini diakhiri pertanyaan tentang bentuk
jaminannya. Lihatlah pendidikan dari PAUD hingga perguruan tinggi, adakah yang
berjamin? Bukankah ini sebuah investasi besar?
Promajam
Bermimpi tentu tidak ada yang
melarang bahkan andaikan mimpi tersebut tidak masuk akal. Bermimpi bahwa
madrasah secara khusus sebagai lembaga pendidikan yang mengelola investasi
besar yang menguntungkan bagi semua orang dimana dimensi kebesarannya tidak
hanya sebatas dimensi dunia namun menembus dimensi akhirat. Dan mimpi inilah
yang akan diceritakan sebagai sebuah “Promajam” yaitu Program Madrasah Berjamin.
Bagaimana membangun sebuah madrasah
dengan promajamnya tentu dibutuhkan keseriusan dan kesabaran. Keseriusan di
sini karena promajam ini harus mempunyai
perencanaan(planning), pelaksanaan (execution), pengawasan (controlling) dan
evaluasi (evaluation) yang baik. Dan kesabaran sendiri karena memang pekerjaan
ini terus menerus dan panjang mengiringi lamanya proses pendidikan di tiap
jenjang itu sendiri. Dengan dasar keseriusan dan kesabaran inilah timbulnya
biaya investasi. Berapa? Untuk menentukan jumlahnya tentu harus dihitung dengan
standar manusia(manusiawi) bukan standar malaikat (malaikati). Komponen hidup
seorang manusia yang menjamin keseriusan dan kesabarannya paling tidak mencakup
terjaminnya standar hidup yang layak baginya - antara lain: makannya beserta
keluarga terpenuhi standar gizi, tempat tinggalnya tidak sempit dan terhormat,
kendaraanya harus menjamin kesuksesan tugasnya(mobil), pendidikan keluarganya
harus terjamin (sarjana), biaya komunikasi , biaya up date keilmuan, biaya
rekreasi, asuransi kesehatan dan asuransi pensiun – dan
tunjangan pekerjaannya sebagai guru yang terhormat. Komponen lainnya adalah
biaya sarana dan prasarana pendidikan yang menguntungkan bagi pelaksanaan
proses pendidikan. Akumulasi komponen-komponen inilah (standar kelayakan hidup,
tunjangan pekerjaan dan biaya sarana prasarana pendidikan) yang menjawab berapa
jumlah biaya investasi pendidikan yang menguntungkan yang akan diinvestasikan oleh
para orang tua siswa.
Selanjutnya apakah biaya ini
dianggap beban karena terlalu besar? Tunggu dulu. Jika investasi masa depan dianggap
investasi besar dan penting apalagi menembus dimensi akhirat maka jumlah
investasi ini akan logis/masuk akal. Kemudian dalam “Promajam” kompetensi apa
saja yang akan dikuasai siswa juga wajib tergambar. Di samping itu juga
“Promajam” ini di “kunci” dengan sebuah
perjanjian bahwa dana pendidikan dari awal hingga akhir wajib dikembalikan utuh kepada orang tua jika
kompetensi yang dijanjikan tidak tercapai maka akan menjadi jelaslah semuanya.
Bandingkan dengan yang ada selama ini
dimana ketika memasukkan anak ke sebuah lembaga pendidikan, cobalah tanya
dengan kepalanya bahwa dengan biaya yang ada, apa kompetensi anak jika telah lulus nanti selain ijazah dan apa
jaminannya. Pertanyaan tentang apa kompetensi yang akan dikuasai anak jika
lulus nanti selain ijazah nampaknya secara umum akan menjadi jawaban yang sulit
bagi para kepala lembaga pendidikan mulai dari PAUD sampai perguruan tinggi.
Kalau ini saja menjadi sebuah kesulitan bagaimana seorang kepala akan
memberikan jaminan. Jadi dana yang keluar dan waktu yang terbuang akan terkesan
percuma tanpa sebuah pertanggungjawaban berbentuk jaminan.
Sekedar Contoh
Sekedar contoh, sekali lagi ini
hanya sekedar contoh dan contoh pun masih dalam gambaran umum. Jenjang
pendidikan yang akan dijadikan contoh adalah madrasah tingkat Ibtidaiyah. Orang
tua membayar investasi pendidikan di madrasah ibtidaiyah sebesar Rp. 800.000,-
dan menyerahkan anaknya untuk dididik. Kompetensi yang akan dijamin adalah
setelah anak lulus madrasah ibtidaiyah nanti (6 tahun kemudian) ia akan
memiliki 8 kompetensi yaitu :
1. terbiasa
melaksanakan ibadah wajib sehari-hari,
2. berakhlakul
karimah,
3. mampu
membaca Al Qur’an secara tilawah minimal lagu Bayati,
4. mampu
menulis khot minimal satu jenis khot,
5. mampu
berbahasa inggris aktif,
6. hapal
surat Yasin dan Juz Amma minimal 20 ayat serta beberapa ayat-ayat pilihan,
7. mampu
menggunakan IT,
8. nilai
setiap mata pelajaran di ijazah minimal 8.
Jadi
nilai setiap kompetensi adalah Rp. 100.000,- perbulan (Rp. 800.000,- : 8
kompetensi).
Selanjutnya investasi ini diikat
dengan sebuah perjanjian di atas materai oleh kedua belah pihak yaitu pihak
orang tua dan pihak madrasah. Isi perjanjian ini paling tidak memuat hak dan
kewajiban masing-masing pihak misalnya : pihak orang tua berkewajiban membayar
biaya perbulan Rp. 800.000, dan mendukung seluruh kegiatan yang ada di
“Promajam” , sedangkan hak mereka mendapatkan anaknya yang menguasai 8
kompetensi setelah lulus dari jenjang pendidikan di tingkat MI atau menerima
pengembalian dana berdasarkan jumlah kompetensi yang gagal ditanamkan pada
anak. Misalnya ada 2 kompetensi yang gagal dtanamkam pihak MI ke siswa maka
pihak MI harus mengembalikan dana ke pihak orang tua sebesar Rp. 14.400.000
(Rp. 100.000,- x 2 kompetensi x 12 bulan x 6 tahun). Hak dan kewajiban pihak MI
tentu lawan dari hak dan kewajiban pihak orang tua.
Bagaimana dengan guru? Karena guru
merupakan “mesin” nya maka Kepala MI membuat perjanjian lagi dengan
masing-masing guru disetiap jenjang kelas. Misalnya untuk guru kelas satu ia
berhak mendapatkan dapro(dana promajam) sebesar Rp. Rp. 10.000.000,- per
bulan dan THR 1 bulan dapro dengan
kewajiban mendidik 20 anak dengan kompetensi akhir ketika naik ke kelas
II, yaitu :
1. Siswa
hapal 20 ayat surat Yasin,
2. Siswa
menguasai minimal iqro’ 3,
3. Siswa
terbiasa bersifat jujur dan bersedekah,
4. Siswa
hapal surat Al Fatihah, Al Falaq, An Nas dan Al Ikhlas,
5. Siswa
hapal bacaan sholat minimal : do’a iftitah, do’a rukuk, do’a i’tidal, do’a
sujud, duduk antara 2 sujud dan gerakan sholat,
6. Siswa
terbiasa sholat minimal 2 waktu,
7. Siswa
terbiasa menggunakan sehari-hari 30 kosa kata bahasa inggeris,
8. Siswa
menguasai calistung sederhana.
Apabila
guru tersebut gagal maka ia wajib mengembalikan dapro sesuai dengan
siswa yang gagal. Misalnya dari 20 siswa, yang tidak tercapai ada 2 siswa maka
ia harus mengembalikan dapro sebesar Rp. 13.000.000,- (Rp. 500.000,- x 2
siswa x 13 bulan) kepada kepala MI. Demikian pula untuk kelas-kelas lainnya
harus dijabarkan oleh kepala MI dengan
tepat karena Kepala MI adalah penanggung jawab keberhasilan program. Karena
pada akhirnya ialah yang harus mempertanggungjawabkan keberhasilan “Promajam”
kepada pihak orang tua sebagaimana dalam surat perjanjian.
Peran Pemerintah
Pasal 31 UUD 45
mengamatkan tentang kewajiban pemerintah memberikan pendidikan yang layak bagi
warganya. Jika ini sebuah kewajiban maka nampaknya pemerintah bisa bersinergi
dengan para orang tua siswa untuk turut menjadi investor di dunia pendidikan.
Apalagi dengan “Promajam” ini dana para investor ada kejelasan karena dijamin.
Bayangkan dengan yang terjadi selama ini dimana dana pemerintah untuk dunia pendidikan
sudah dihabiskan ribuan terilyun namun hasilnya tidak jelas dan dananya tidak
kembali alias kandas.
Jadi pemerintah tinggal membuat regulasi saja
yang isinya mau menanggung dana investasi pendidikan semuanya atau 60% ditanggung pemerintah dan
40% ditanggung orang tua atau berapa saja. Bukankah jika gagal dana akan
kembali? Dan bukankah dengan kesejahteraan yang besar ini guru mana yang
berpikir mau mengembalikan dana? Yang ada setiap guru berpikir untuk bekerja
dengan target akhir “harus berhasil jika tidak ingin memulangkan dana.
Sebuah Keuntungan
Dimana ruginya? Ketika investor yaitu orang
tua dan pemerintah mendapatkan siswa dengan 8 kompetensi seperti contoh di
atas, apakah masih lebih berharga uang? Apakah dengan menghabiskan waktu anak
di lembaga pendidikan yang gratis sekalipun namun tidak jelas kompetensinya,
sementara waktu yang terbuang (6 tahun, 3 tahun atau 12 tahun), bukan merupakan
sebuah kerugian yang besar? Bisakah kita membeli waktu yang hilang dengan uang
seberapapun banyaknya?
Dimana ruginya? Ketika kompetensi
tidak tercapai, bukankah uang kembali? Mungkinkah semua kompetensi tidak
tercapai? Dengan guru yang dibayar layak pastilah jawabannya kecil kemungkinan.
Jika pun terjadi sebagaimana contoh di atas dimana dari 8 kompetensi yang
dijanjikan ternyata siswa lulus dengan hanya membawa 5 kompetensi ditambah uang
kembali, apakah sebuah kerugian? Jadi ketika berbicara tentang sebuah
keuntungan dari “Promajam” maka dimana ruginya?
Akhirnya
“Promajam” adalah sebuah program
pendidikan yang akan menjamin investasi pendidikan dalam bentuk dana dan anak.
“Promajam” juga adalah sebuah program
pendidikan yang menjamin kesejahteraan para guru secara manusiawi dan beradab.
“Promajam” pun menjamin tingkat profesionalitas guru karena kegagalan tugas
sama dengan mengembalikan semua dana yang diterima selama ini. Tentu setiap
guru akan berusaha bekerja secara profesional dan menjamin keberhasilan program
daripada mengembalikan pendapatan yang menjamin kesejahteraannnya. Dan akhirnya
“Promajam” mengusung sebuah kepastian. Sebuah kepastian melambangkan sebuah
kejelasan. Sebuah kejelasan akan mengundang kepercayaan. Walaupun ini baru
sebuah mimpi, mudah-mudahan mimpi ini
layak dipercaya. Andaipun tidak percaya, tidak apa-apa, bukankah hanya
sebuah mimpi?
Komentar
Posting Komentar